Pertumbuhan
arus globalisasi dan informasi akhir-akhir ini telah mempengaruhi segala
aspek kehidupan, ekonomi, politik, dan sosial, temasuk agama.
Aktivitas-aktivitas keagamaan saat ini telah banyak terkontaminasi
virus globalisasi. Dan harus diakui bahwa relasi antara agama, khususnya islam
dan budaya pupuler begitu melekat dan mengundang banyak permasalahan,
dilema, dan kontadiksi.
Perlu
dijelaskan di sini bahwa budaya popular adalah jenis kebudayaan yang perkembangannya
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan industrialisasi, kapitalisme, dan
konsumerisme.
Budaya
popular terkait dengan apa yang disebut dengan budaya massa, yaitu budaya yang
diproduksi untuk massa, mengikuti pola produksi massa. Budaya popular menyiratkan
akan kebaradaan budaya nonpupuler sebagai lawannya, yaitu yang dibangun oleh
pendekatan nonpopular yang sering
disebut budaya luhur.
disebut budaya luhur.
Budaya
popular yang dibangun oleh imajinasi popular kini telah merasuki masyarakat
Islam. Imajinasi-imajinasi ini dibentuk secara sadar oleh orang atau
sekelompok orang, biasanya produsen, kapitalis, dan para elite untuk membedakan
mereka dengan orang lain. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Bayang-bayang
Tuhan: Agama danImajinasi menjelaskan bahwa imajinasi popular semacam ini
dibangun setidaknya ada empat ranah.
Pertama,
cara berpikir popular, yaitu cara berpikir jalan pintas yang penting
mendapatkan kesenangan, kalau perlu tanpa berpkir. Itulah cara berpikir yang
mengutamkan penampilan ketimbang kualitas jiwa, popularitas ketimbang
spiritualitas, kedangkalan ketimbang kedalaman. Hal ini bisa kita lihat
misalnya, banyaknya buku how to yang menawarkan cara cepat dan
instan mempelajari Islam. Akhirnya, masyarakat Islam yang terperangkap cara
berpikir popular ini akan menjadi masyarakat yang malas berpikir, cari
enak dan jalan pintas.
Kedua, komunikasi
popular. Komunikasi popular ini dicirikan dakwah yang dihiasi oleh
imajinasi dan fantasi-fantasi yang biasa hidup di dalam budaya popular, burapa
bahasa, tindakan, dan penampilan populer. Kita ambil contoh misaslnya dakwah
Islam yang mengandung unsur komedi, lawakan, banyolan yang kerap muncul di TV.
Tidak
hanya itu, para dai, ustadz, kiai pun berperan sebagai superstar di
hadapan massa penggemar. Massa pada akhirnya “secara pasif” meniru kebiasaan,
penampilan, dan gaya dai superstar mereka (busana, model rambut,)
dan membuat mereka berhasrat untuk mengoleksi barang-barang “dai idola”
mereka, bahkan sampai memburu tanda tangan. Da’i bagaikan seorang selebritis
yang “diidolakan”. Ketiga, ritual
popular. Ritual ini biasanya dilakukan dengan mengikuti paradigma budaya
poluler, seperti logika komoditas. Ritual-ritual itu ditata sedemikian rupa
sesuai dengan prinsip perbedaan sosial dan pencapain prestise, kelas dan
status. Misalnya berbuka puasa bersama yang diorganisakan berdasarkan
kelas-kelas sosial di dalam masyarakat, seperti paket-paket berbuka yang
diadakan di hotel-hotel berbintang dan dikaitkan dengan kehadiran selebritas
di dalamnya. Di sana tedapat proses penghancuran kesucian ibadah dengan
hadirnya pencitraan ritual. Akhirnya, bukan kedalaman spiritual yang
didapat, justru kedangkalan dan permukaan spiritualitas
Keempat, simbol
populer. Simbol atau penampilan popular ini mengarahkan pada penampilan yang
mencakup nilai dari pakaian atau aksesoris yang menekankan efek kesenagan,
simbol, status, tema, prestise, daya pesona dan berbagai selera populer
lainnya. Ini juga menimpa umat Islam, misalnya menjadi pengikut atau peniru
dari model penampilan para elite agama (ustadz, kiai, da’i), di mana
model-model baju yang dikenakan oleh pak ustadz menjadi trend setter dan
menciptakan gaya hidup baru.
Banalitas Agama
Ada
berbagai akibat dari masuknya budaya populer ke ranah Islam ini, yaitu semacam
banalitas agama. Di sana kita menyaksikan apapaun yang selama ini dianggap
profan, nafsu rendah, remeh-temeh, banal dan sampah menurut pandangan Islam,
kini menjadi bagian wacana kegaamaan itu sendiri. Batas suci/rendah dan
sakral//profan, kini dikaburkan dan digiring pada logika budaya baru, yaitu
logika banalitas agama. Agama berada di tempat yang rendah, remeh-temeh,
murahan dengan mengambil alih nilai-nilai dan budaya luhur keagamaan.
Di
dalam ritual keagamaan, sesuatu dulu yang dianggap tidak penting (seperti
penampilan,sifat menghibur, gaya pakaian, gaya penampilan) kini menjadi sangat
dibutuhkan, dan mendominasi ruang-waktu umat Islam serta menjadi jantung
kehidupan keberagamaan umat Islam.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita bisa menjumpai misalnya, para ustadz di televisi
terlihat lebih mementingkan gaya penampilannya ketimbang penguasaan subtansi
ajaran Islam yang diajarkannya. Lebih mementingkan gaya bicara, ketimbang
esensi ajaran Islam. Dalam keadaan semacam itu, telah berlangsung “pementingan
yang banal dan pembanalan yang subtansial”
Inilah
banalitas agama yang merayakan penampakan luar atau performansi tanpa peduli
dengan makna atau nilai-nilai spiritualitas-ketuhanan di baliknya. Dan
tentunya, gaya hidup telah mencabut ritual keagamaan dari ruang transendentalnya,
dan kini menjadi semacam ekstasi (kesenagan puncak) penampakan yang
tanpa kedalaman.
Membangun Identitas
Semua
praktik keagamaan yang disarati dengan budaya popular tidak akan pernah
mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi, Kecil kemungkinan mencapai
kedalaman spiritual. Ini semua hanya akan menjauhkan kita dari tujuan utama
dalam beragama/spiritualitas, yaitu pennyucian jiwa.
Oleh
karena itu, kita sebagai umat Islam perlu melepaskan diri dari perangkap budaya
populer untuk kembali pada identitas keagmaan yang ontentik yang tentu mengharuskan
kita melalui proses yang tidak pernah tuntas, selalu berhadapan dengan
tantangan dan hambatan baru.
By: www.harianhaluan.com